Oleh Ikak G. Patriastomo*
Pada waktu pertama kali saya mendengar
gagasan bahwa e-procurement akan menjadi sistem utama pengadaan barang
dan jasa pemerintah di Indonesia, saya termenung. Apa mungkin? Waktu itu
tahun 2004.
Enam tahun kemudian, pada waktu tanggal 31 Desember
2010 saya memberikan sambutan akhir tahun di depan teman-teman yang
bersama-sama mewujudkan gagasan itu, apa yang pada tahun 2004 rasanya
masih menjadi mimpi, saat ini mimpi itu bukan lagi mimpi yang jauh.
Dalam
kurun waktu hanya 3 tahun, sejak 2008 sampai akhir 2010 ini,
perkembangannya sangat fantastis. Nilai transaksi pengadaan yang
diproses secara elektronik menggunakan sistem e-procurement yang
dibangun bersama-sama mencapai Rp. 16,69 trilyun. Lebih dari 7.900 paket
lelang sudah diproses, padahal pada tahun 2008 hanya 33 paket
diujicobakan.
Walaupun baru 51.780 badan usaha yang terdaftar
dalam sistem e-procurement, jumlah ini adalah kumulatif 3 kali lipat
dari jumlah badan usaha yang terdaftar tahun sebelumnya. Yang dirasakan
oleh para pelaku usaha itu, ada perlakuan yang adil bagi mereka.
Kesempatan untuk memenangkan lelang menjadi sama bagi semua pelaku
usaha.
Melihat perkembangan itu, di tahun lalu, tepatnya tahun
2009 di Batam, saya pernah menyampaikan keyakinan saya di depan
teman-teman, bahwa inisiatif membangun e-procurement akan memberi
suasana dan optimisme baru di tengah-tengah hiruk pikuk komentar yang
pesimistik dengan perkembangan bangsa ini. Inisiatif ini menunjukkan
bahwa setiap elemen masyarakat memiliki dinamikanya sendiri untuk
bertahan hidup dan memperbaiki dirinya dan lingkungannya.
Tampaknya,
respon dari para pengelola pengadaan di daerah sangatlah mendukung
dinamika ini. Tim yang dibentuk di setiap Provinsi, Kabupaten, Kota
maupun Kementerian dan Lembaga untuk mengelola unit layanan pengadaan
secara elektronik (LPSE) sungguh sangat mengharukan sekligus
membanggakan. Setiap orang dengan bersemangat mengambil bagian untuk
mewujudkan e-procurement. Tidak mudah diceritakan, bagaimana Ibu-ibu di
LPSE Sumatera Barat bersedia roadshow kepada para Bupati dan para kepala
dinas di kabupaten se Sumatera Barat memperkenalkan e-procurement dan
melakukan pendampingan kepada teman-temannya di kabupaten membentuk
LPSE. Atau, kawan-kawan di Jawa Barat, Kalteng, atau Sulsel bersedia ke
provinsi-provinsi lain menceritakan keberhasilannya mendorong penerapan
e-procurement di provinsinya.
Ternyata, inisiatif membangun
e-procurement telah menjadi gerakan bersama. LPSE-LPSE yang dibentuk di
daerah maupun di pusat telah menjadi energi perubahan bagi lingkungannya
dan perubahan ini dilakukan bersama-sama tanpa terikat dengan
batas-batas wilayah dan kewenangan. Siapa saja dapat melakukan inisiatif
itu, menyampaikannya kepada masyarakat, melatih panitia pengadaan
maupun penyedia barang dan jasa, maupun melatih dan berbagi pengalaman
kepada kawan-kawannya yang ingin membangun LPSE.
Birokrasi yang
semula dipersepsikan lamban dan tidak mau berubah, saat ini teman-teman
di LPSE telah menampilkan sikap yang sangat berbeda. Dengan bersemangat
mereka bersedia membantu siapapun apalagi penyedia dan panitia yang
ingin mengetahui proses lelang secara elektronik dan bisa mengoperasikan
sistem aplikasi. Dengan ikhlas dan penuh dedikasi mereka melayani
berbagai suara yang bernada sumbang pada inisiatif mereka. Mereka merasa
menjadi tanggung jawab merekalah orang-orang yang tidak tahu menjadi
tahu e-procurement, seperti halnya mereka yang tahu dari kawan-kawan di
LPSE yang lain.
Saat ini, ada lebih dari 1.300 orang di negara
kita ini yang memiliki semangat seperti itu. Sekali lagi, perubahan itu
pasti akan terjadi. Sistem pengadaan yang lebih baik akan segera
terwujud oleh orang-orang seperti itu.[] *Direktur E-Procurement Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP).
Sumber >>>>